Saya yakin Cajuste tidak akan melupakan kejadian yang dia alami di Bernabeu pada Desember 2023. Nico Paz berdansa melewati Cajuste. Sedetik kemudian, dia menendang sekeras mungkin, dan mencetak gol. Bernabeu bergemuruh, pemain Real Madrid bersorak, menyisakan Cajuste yang termenung karena dia baru saja dibodohi pemuda kemarin sore.
Seharusnya, itu sudah jadi pertunjukan yang cukup untuk meyakinkan Ancelotti. Semua orang pun berpikir hal yang sama: sudah saatnya dia naik tingkat. Nico Paz bukan (lagi) pemain akademi. Dia terlalu hebat. Dia adalah ikan besar di akuarium yang kelewat sempit. Semua orang berpikiran hal yang sama…
Kecuali Ancelotti, dan jajaran petinggi Real Madrid yang lain.
Di musim panas 2024, tiba-tiba Fabrizio Romano mengumumkan bahwa Nico Paz berlabuh ke Como 1907, menambah deretan prodigy yang muncul dari akademi Real Madrid dan terbuang ke klub lain.
Bernabeu adalah Makam Talenta Muda
Nico Paz adalah anomali. Setelah Gabriel Heinze dan Di Maria, praktis tak ada punggawa Madrid lagi yang membela Argentina. Di negara kesebelasan Messi, memang sulit menemukan unsur Real Madrid di situ, sekalipun petinggi River Plate dan Boca Juniors adalah kawan baik Florentino Perez.
Yang lebih anomali lagi, Nico Paz adalah pemain akademi Madrid yang kerap dipanggil Scaloni untuk membela Albiceleste. Bayangkan, sehebat apa pemain akademi yang dipanggil berbarengan dengan Messi dan Di Maria?
Tapi kita tahu, Bernabeu adalah kuburan bintang muda. Tak terhitung lagi berapa banyak talenta yang mati ditelan gemuruh Bernabeu. Morata, Theo Hernandez, Miguel Gutierrez, hingga nama lawas macam Soldado dan Pavon semua mati di situ. Tak terkecuali Nico Paz.
Nico Paz mungkin adalah komoditi paling panas musim lalu, tapi tak berarti dia dianggap cukup baik untuk menghangatkan kursi cadangan Bernabeu. Ancelotti adalah orang pragmatis. Dia bekerja untuk menang, bukan memberi waktu pemain muda berkembang. Selama dia tidak bisa jadi pembeda, lupakan soal menjejak rumput.
Mungkin Paz sadar betul dengan itu. Ketika Fabregas dan Como mengetuk pintu, dia tahu bahwa dia harus pergi. Sekalipun Madrid begitu mengilap, tapi jika tidak menjadi salah satu bintang yang ikut menyumbang kilaunya, untuk apa bertahan?
Como: Tim Remah-Remah tapi tak Remeh
Como 1907 memang tim yang, yah, tak bisa kau anggap tim yang hebat-hebat amat. Dia berada tepat di atas garis degradasi. Tapi, tak hebat bukan berarti bisa dianggap remeh. Como adalah tim paling menarik untuk para senior yang ingin kembali bersinar dan tempat para anak muda mengasah taringnya.
Dan tidak bisa tidak, Como adalah tempat yang pas untuk Nico Paz. Tim ini tidak menekanmu untuk juara, saya yakin direksi Como cukup waras untuk tidak menekan pemainnya agar tim ini juara Serie A. Tidak. Bisa bertahan di Serie A saja sudah hebat. Di tim ini, dia tidak merasakan tekanan yang hebat. I Lariani adalah lantai dansanya, dan dia wajib berdansa seindah mungkin, tanpa takut dinilai orang-orang sekitarnya.
Dan dansanya benar-benar memukau banyak orang. Total 5 gol dan 4 asis adalah torehan yang amat bagus untuk pemain yang baru menginjak umur 20 tahun. Ketika anak umur 20 tahun di luar sana sedang menyiksa diri mendengarkan Bernadya 40 kali sehari, Nico Paz memukau seantero Itali.
Orang-orang pun lupa bahwa dia tak memukau Ancelotti. Orang-orang pun lupa bahwa dia adalah pemain yang dianggap tak cukup bagus untuk menghangatkan bangku cadangan Bernabeu. Yang orang tahu, dia adalah pemuda yang memberikan sentuhan magis di kala ia menari.
Orang waras mana pun, pasti akan menyarankan petinggi Como 1907 untuk mengamankan Nico Paz, bagaimanapun caranya. Dan itu sedang dilakukan oleh Como, dengan cara melepas klausul yang mengikat Nico pada Real Madrid. Seperti 50 persen kepemilikan dan buyback clause senilai 12 juta euro. Sayangnya, Real Madrid menolak.
Tapi apa pun hasilnya, saya rasa Nico memang wajib bertahan bersama I Lariani, setidaknya hingga semusim ke depan. Atau mungkin lebih lama lagi, baru mengudara bersama klub lain. Sebab, bagaimanapun juga, Como, adalah tempat yang pas untuk Nico Paz.