Di tepian Danau Como yang tenang, ada sebuah stadion sepakbola yang dibangun sejak nyaris dari seabad silam. Namanya: Stadio Giuseppe Sinigaglia. Itulah kuil suci bagi para tifosi Como 1907. Tapi siapa Giuseppe Sinigaglia sebenarnya?
Sinigaglia bukanlah pesepakbola. Lahir di Como pada 1884, ia adalah seorang atlet dayung dengan sederet prestasi: memenangkan Diamond Challenge Sculls di ajang Henley Royal Regatta dan meraih delapan medali di Kejuaraan Eropa antara tahun 1906-1913 dalam berbagai nomor.
Setelah pecahnya Perang Dunia I, Sinigaglia secara sukarela bergabung dengan Regio Esercito—Pasukan Kerajaan Italia. Ia ditempatkan di Resimen ke-2 Granatieri di Sardegna, bagian dari Brigade Mekanis. Usai menjalani masa pelatihan yang intensif, ia pun mulai melakoni pertempuran pertamanya: penyerbuan bukit Monte Sabotino dan Monte Podgora, lokasi benteng pasukan Kekaisaran Austro-Hungaria.
Pada 1916, ketika berusia 32 tahun, Sinigaglia dipromosikan menjadi letnan dan ikut turun ke dalam Battaglia degli Altipiani (Pertempuran Asiago). Masih di tahun yang sama, ia juga ambil bagian dalam ‘Enam Jilid Pertempuran Isonzo’ di Monte San Michele dan Gorizia. Di sanalah, pada 9 Agustus 1916, ia memimpin pasukannya menyerbu Bukit 4—sepetak tanah tinggi yang diperebutkan oleh dua kekuasaan dan kelak jadi tempat Sinigaglia meregang nyawa.
Ketika peluru menembus tubuhnya, Sinigaglia masih sempat dievakuasi ke rumah sakit kecil di San Vito al Torre. Namun, ajal lebih cepat hadir daripada doa: ia gugur keesokan harinya, 10 Agustus 1916. Atas keberaniannya memimpin pasukan, Italia menganugerahi Sinigaglia sebuah medali kehormatan: Medaglia d’argento al valor militare.
Sinigaglia bukanlah pesepakbola. Lahir di Como pada 1884, ia adalah seorang atlet dayung dengan sederet prestasi.
Pembangunan Stadion
Stadio Giuseppe Sinigaglia dibangun satu dasawarsa berselang sejak kematian sang pahlawan. Benito Mussolini langsung yang memberi perintah. Arsiteknya adalah Giovanni Greppi: sosok yang dikenal sebagai perancang kuil-kuil monumental Italia di masa rezim fasis. Namun, berbeda dengan bangunan fasis pada umumnya yang bercorak maskulin dan kerap mengusung kejayaan masa silam, stadion ini dibuat bersahaja dan terbuka. Menyatu dengan lanskap, bukan menaklukkannya.

Bentuk salah satu fasad bangunan di kompleks Stadio Giuseppe Sinigaglia. / Soccer Bible
Pekerjaan dimulai pada Oktober 1926 di lokasi sebuah lapangan yang telah ada sebelumnya. Pada masa itu, stadion dilengkapi dengan dua lintasan: sebuah velodrom sepanjang 500 meter dan lintasan atletik sepanjang 450 meter, yang mengelilingi lapangan sepak bola seluas 7.200 meter persegi. Kapasitas total tribun saat itu mencapai 6.000 orang.
Setahun berselang, pengerjaan stadion itu rampung. Bertepatan dengan perayaan mengenang wafatnya Alessandro Volta, fisikawan besar penemu baterai untuk pertama kali. Sama dengan Sinigaglia, Volta juga putra asli Como. Setelah mendapat persetujuan antusias dari Presiden CONI saat itu, Lando Ferretti, stadion ini diresmikan pada 30 Juli 1927 dan diberi nama: Stadio Giuseppe Sinigaglia.
Yang aneh dan indah dari stadion ini adalah letaknya. Dari satu sisi tribun, orang bisa melihat danau yang memantulkan langit. Di sela pertandingan, jika bola keluar dan permainan terhenti, mata penonton bisa berpindah ke perahu yang lewat atau ke burung camar yang melintas rendah. Seolah sepakbola bukanlah satu-satunya peristiwa di sana dan orang-orang justru seperti diminta melupakan kompetisi barang sejenak.
Kapasitas stadion ini juga tak pernah terlalu besar. Jika awal pembangunan hanya dapat menampung 6000 orang, kini telah terdapat 10,759 kursi. Tapi bentuk dasarnya tak berubah banyak. Posisi penonton cukup dekat dengan lapangan. Seperti berupaya meniadakan jarak psikis antara pemain dengan suporter. Ketika Como mencetak gol, seluruh kota seperti ikut melonjak, danau ikut bergemuruh.
Pasang Surut
Como 1907, sebagaimana banyak klub kecil di Italia, hidup dalam pasang surut. Pernah berada di Serie A, lalu terhempas ke Serie D, merangkak ke Serie C, sebelum kembali bertengger di Serie A. Tapi stadion ini tetap setia, seperti rumah yang menunggu anaknya pulang—entah sebagai pahlawan, entah sebagai pecundang.
Kini Como 1907 telah menjadi kuda hitam di Serie A. Pekan lalu usai mengalahkan Parma, mereka bertengger di urutan 10 klasemen. Perlahan, stadion Giuseppe Sinigaglia kembali ramai. Anak-anak sekolah datang bersama ayah mereka. Para lansia duduk tenang di bangku batu. Di tribun belakang gawang, para ultras bernyanyi tanpa henti sepanjang laga, lalu berjingkrak kesetanan tiap Patrick Cutrone mencetak gol atau saat Nico Paz melewati satu-dua pemain.
Pada akhirnya, Stadio Giuseppe Sinigaglia tidak sekadar menjadi arena pertunjukkan atau Colosseum kemegahan. Ia, dalam kondisi terburuk dan terbaiknya, adalah ruang nostalgia dengan penuh cerita. Dan mungkin, ya, mungkin, memang begitulah stadion ini ingin dikenang.