Belakangan kita sering mendengar obrolan mengenai gebrakan PSSI dalam menggantikan Shin Tae-Yong yang dianggap inovatif, bahkan revolusionis meskipun terlihat politis saja sih.
Disebut demikian karena pengganti sosok asal Korea Selatan tersebut dipecah jadi tiga sosok: Patrick Kluivert, Alex Pastoor, dan Denny Landzaat.
Kluivert yang punya track record miskin taktik dan kalahan itu akan lebih difokuskan jadi figur “abang-abangan” di ruang ganti. Agak tidak habis pikir sih, memangnya ini tongkrongan di kampus apa ya, perlu “abang-abangan”.
Sedangkan, Pastoor akan jadi orkestrator taktik sesungguhnya, berbekal magisnya membawa tiga klub berbeda promosi Eredivisie. Lalu Landzaat yang disebut bisa bahasa Indonesia itu sendiri akan jadi perangkul pemain.
Kalau untuk merangkul mah, Dr. Tirta lebih tepat sih, sekaligus bisa memberi edukasi kesehatan lagi!
Pembagian tugas kepelatihan ini kemudian mengingatkan saya kepada Cesc Fabregas di Como 1907.
Dalam kariernya menangani Como, mantan gelandang Arsenal itu sesungguhnya pernah dan sedang merasakan peran yang mirip dengan salah dua sosok yang disebut di atas: Alex Pastoor dan Patrick Kluivert.
Diri Pastoor di Tubuh Fabregas Kala Como di Serie B
Sebelum promosi ke liga teratas Italia, Como pernah pusing berkutat di papan tengah Serie B. Pada akhirnya, Marino Longo, pelatih kala itu dipecat dan digantikan oleh pelatih Como U19, mantan pemain mereka, sekaligus pemegang saham minoritas klub tersebut, Cesc Fabregas.
Namun, posisi Fabregas sebagai pelatih interim hanya bisa bertahan sebulan akibat dirinya yang tak mempunyai lisensi kepelatihan UEFA Pro. Osian Roberts lantas ditunjuk sebagai pelatih kepala pasca dispensasi Fabregas selesai.
Meski pucuk kepelatihan dipegang oleh Roberts, publik menilai bahwa sosok pengatur tim sesungguhnya justru dipegang oleh Cesc Fabregas.
Anggapan ini kian menguat dengan Fabregas yang lebih sering terlihat membersamai skuad dalam pemberian instruksi.
Terlebih lagi, pasca Osian Roberts tak memegang tampuk kepelatihan, Fabregas langsung diangkat jadi penggantinya. Seolah jabatan Roberts hanya bersifat administratif semata, selagi asisten pelatihnya itu belum mendapat lisensi kepelatihan yang dibutuhkan.
Sisi taktikal juga seolah mendukung anggapan tersebut, dengan 4-2-2-2 / 4-2-3-1 Como sendiri yang memang jadi formasi favorit Cesc Fabregas.
Dalam salah satu episode Coaches’ Voice, pria asal Spanyol itu pun mampu menjelaskan prinsip strategi dalam formasi yang memiliki kemiripan dengan ide build up ala De Zerbi itu.
Hal tersebut seolah jadi indikasi bahwa ide permainan itu memang lahir dari sosok Fabregas.
Demikian pula dengan Alex Pastoor. Bila rumor bahwa Pastoor adalah sosok perancang strategi yang sebenarnya, sebagaimana sudah dibincangkan pundit selevel Justinus Lhaksana hingga Wesley Sneijder, maka posisi Pastoor di timnas sesungguhnya mirip Fabregas kala Como masih bersua di Serie B.
Sosok pengatur taktik di belakang layar.
Kluivert dan Fabregas seperti Penglaris
Di ruang obrolan yang sama, Sneijder juga mengatakan bahwa Kluivert akan berperan jadi penggaet nama-nama diaspora keturunan baru agar mau bergabung dengan timnas Indonesia.
Kluivert bisa dikatakan mempunyai track record buruk sebagai pelatih, tapi kariernya sebagai pemain luar biasa. Maka, tak heran bila namanya saja sudah membuat banyak pemain jadi kepincut.
Bahkan, saat Kluivert dicaci oleh salah satu fanspage timnas Curacao, pihak yang sama pun mengatakan bahwa mantan penyerang Barcelona itu jadi faktor utama yang membuat para pemain kelahiran Belanda akhirnya bergabung ke Curacao.
Fabregas pun sama. Dengan nama besarnya kala bermain di Chelsea, Barcelona, Spanyol, dan Arsenal; tentunya tak sedikit pemain yang kemudian menunjukkan rasa tertarik, terlebih yang tumbuh menyaksikan kejayaan nama Cesc Fabregas.
Ini pun telah terbukti lewat sejumlah nama yang telah bergabung. Sebut saja Varane, yang meski akhirnya karirnya mandek, menyebutkan bahwa Fabregas berperan besar dalam keputusannya pindah ke Como.
Nico Paz yang kini jadi bintang I Lariani pun bergabung karena melihat kesempatan dilatih di bawah naungan Cesc Fabregas, sebagaimana dikonfirmasi oleh Matteo Moretto.
Kesamaan berikutnya dari ketiga sosok tersebut adalah bahwa mereka semua tengah berada di arus badai yang sama.
Membina tim yang berada dalam kejayaan seumur jagung dengan masing-masing punya kesulitan yang sama. Timnas yang tengah berjuang lolos piala dunia dan Como yang berusaha bertahan di Serie A.
Akankah ada kemiripan nasib lagi yang berkelindan antar mereka? Time will tell