Home » Mengapa Tak Ada Pemain Indonesia di Skuad Como?

Mengapa Tak Ada Pemain Indonesia di Skuad Como?

oleh Lindu Ariansyah
A+A-
Reset
Mengapa Tak Ada Pemain Indonesia di Skuad Como?

Kemunculan Como di panggung Serie A musim ini tak bisa dipungkiri memantik atensi publik sepakbola Indonesia. Perjalanan Como dari Serie D hingga ke liga teratas Italia serta kebangkitan kembali I Lariani bersama Don Hartono dari kebangkrutannya menjadi highlight utama manakala media-media di tanah air menyoroti promosi Como pada awal musim 2024-2025.

Melihat privilese yang “dimungkinkan” berkat kehadiran pemilik orang Indonesia, membuat fans timnas menekan harapan akan ada pemain timnas Indonesia di skuad Como.

Antusiasme tersebut merupakan hal yang wajar saja sebetulnya. Sebagai fans, tentu mengharapkan yang terbaik bagi idolanya.

Como sudah dimiliki oleh Djarum Group sejak enam tahun lalu, tetapi mengapa sampai saat ini belum juga ada punggawa Garuda yang merumput bersama I Biancoblu?

Ada beberapa alasan. Mari kita bahas satu per satu…

Regulasi kuota pemain non Uni Eropa

Sejak tahun 2002, Serie A memberlakukan pembatasan kuota pemain non-Uni Eropa. Setiap tim maksimal hanya boleh mendaftarkan dua pemain asing.

Aturan ini sebetulnya sudah diperbarui awal musim ini, tapi versi amandemennya hanya memuat perubahan minor: jika sebelumnya klub harus menjual salah satu pemain non-Uni Eropa yang dimilikinya untuk mendatangkan pemain asing baru, musim ini tidak perlu.

‘Tapi, intinya sama saja: hanya dua paspor non-Uni Eropa yang berhak didaftarkan.

Meski sekilas tampak lebih longgar, tapi perlu dicatat bahwa tidak semua negara Eropa itu tergabung dalam Uni Eropa dan tidak semua negara memberlakukan sistem kewarganegaraan ganda.

Jadi, tentulah klub-klub Serie A ini bakal menggunakan kuota pemain asing mereka dengan sebaik-baiknya. Mereka hanya akan mendaftarkan pemain yang “pantas” untuk diperjuangkan saja.

Venezia, misalnya, berani mendaftarkan Jay Idzes sebagai kuota pemain asing mereka, ya karena perannya begitu vital di lini pertahanan I Leoni Alati. Selepas hengkangnya Joel Pohjanpalo, Jay bahkan kini ditunjuk sebagai kapten utama klub oleh allenatore Eusebio Di Francesco.

Como sendiri sudah mendaftarkan dua nama: Alieu Fadera (Gambia) dan Ali Jasim (Irak). Itu pun Ali Jasim belum mampu menembus skuad utama I Lariani dan kini dipinjamkan hingga akhir musim ke klub Eredivisie, Almere City.

Urgensi menjauhi zona degradasi

Kembali promosi ke Serie A setelah 23 musim absen, tentu Como enggan balik turun kasta lagi. Segala usaha akan dilakukan guna bertahan di puncak piramida persepakbolaan Italia.

Dengan sisa 13 pertandingan, I Lariani tentu akan memanfaatkannya sebaik mungkin untuk mendulang poin. Kalaupun toh di akhir musim nanti Como berhasil selamat dari ancaman degradasi, itu tidak akan membuat peluang pemain Indonesia dilirik Como semakin terbuka. Sebaliknya, pintu akan semakin rapat tertutup malahan.

Jika mampu bertahan di Serie A setelah evaluasi dan perombakan tim besar-besaran, tentu itu akan menjadi titik awal yang optimistis bagi Como untuk terbang lebih tinggi.

Dan ongkos yang harus dikeluarkan untuk itu jelas lebih boros lagi. Fabregas masih akan sibuk mencari-cari kepingan skuad yang cocok untuk melengkapi puzzle taktikalnya.

Tercatat, sudah lebih dari satu setengah triliun rupiah Como habiskan musim ini untuk bongkar pasang skuad. Juni nanti, Fabregas tentu tidak akan segan meminta kucuran dana transfer lebih deras lagi dari kantong Don Hartono untuk meng-upgrade skuadnya. (Sekali lagi, promosi harga mati!)

Abroad itu berat, kamu nggak akan kuat

Kita belum punya banyak contoh pemain yang terbilang sukses abroad apalagi spesifik ke Eropa, kiblat sepak bola dunia. Memang, bukan berarti lantas mustahil. Tetapi, sangat sulit untuk memunculkan pandangan optimisme jika tanpa jejak sejarah yang meyakinkan.

Semasa CS Vise masih jadi milik Nirwan Bakrie (medio 2011-2014), kita hampir memiliki seorang pemain bintang pada diri Alfin Tuasalamony. Bek kanan asal Maluku ini tampil reguler dalam 49 pertandingan selama dua setengah musim memperkuat klub Belgia itu.

Alfin bahkan sempat dilirik Benfica, klub yang terkenal jago dalam memoles dan mengorbitkan pemain-pemain berbakat. Mulai dari David Luiz, Bernardo Silva, Ederson Moraes, hingga Angel Di Maria pernah menimba ilmu di klub Portugal tersebut.

Sayangnya, fullback kebanggaan masyarakat Tulehu ini pilih pulang kampung. Memanfaatkan momen pemanggilan timnas, Alfin mengemasi seluruh barangnya dan berniat kabur dari Belgia. Alfin pun membuang semua kontak pribadinya agar tidak bisa dicari-cari lagi oleh pihak klub.

Padahal, dalam siniar di kanal YouTube Sport77, Alfin sudah teken kontrak dengan Vicenza, klub Italia yang waktu itu bermain di Serie B. Tinggal peresmian kepindahan dan bermain. Namun, ia lebih memilih mudik karena “sudah tidak ada lagi teman”.

Contoh terbaru, ada nama Barnabas Sobor. Bek kiri Papua punya itu bahkan dipantau langsung oleh agen scouting klub Lithuania, FK Riterai. Namun, begitu direkrut dan mulai menjalani latihan, Barnabas menyerah.

Ia mengeluh kepada direksi klub “tak kuat rindu rumah”. Baru seminggu merantau, bek kiri kelahiran Jayapura itu pilih mudik lalu bergabung dengan Kalteng Putra. (Fun fact, kini Alfin Tuasalamony dan Barnabas Sobor jadi rekan satu tim di Persibo Bojonegoro, bermain di Liga 2).

Selain masalah mental, urusan gaji juga jadi godaan yang tak kalah mengerikan. Jangan salah, meskipun berita-berita penunggakan gaji pemain masih kerap berseliweran, klub-klub Indonesia berani menjanjikan gaji selangit kepada para pemain kesayangannya.

Misalnya saja, gaji Rizky Ridho di Persija itu lebih tinggi daripada gaji Jay Idzes di Venezia. Eks bek Persebaya tersebut bisa meraup bayaran 1 miliar lebih banyak ketimbang Jay di Italia.

Gaji selangit, dekat dengan keluarga, populer dan dapat banyak tawaran iklan, siapa yang tak mau? Ngapain repot-repot merantau ke Eropa kalau di Jakarta saja sudah bisa hidup nyaman?

Kita memang tidak bisa serta-merta melakukan generalisasi. Akan tetapi, dari contoh-contoh kasus tersebut, kita bisa mengambil pelajaran bahwa abroad—bukan cuma urusan sepak bola belaka; lebih jauh dari itu, melibatkan perasaan (dan mental) yang bersama pemain ketika sunyi (dalam perantauan).

Artikel Terkait

Tinggalkan Komentar