Home » Rizky Ridho, Jangan Pindah ke Como!

Rizky Ridho, Jangan Pindah ke Como!

oleh Lindu Ariansyah
A+A-
Reset
Rizky Ridho, Jangan Pindah ke Como!

Membaca tulisan Dewi Pangesti tentang rumor Rizky Ridho pindah ke Como, saya jadi agak gusar. Sebagai fans timnas, saya memahami animo positif dalam antusiasme merespons rumor tersebut, tapi sebagai penggemar sepak bola, saya tidak yakin itu akan jadi pilihan karier yang tepat buat Ridho.

Alih-alih menjadi batu loncatan, kepindahan Ridho ke Como justru dapat membuat karier sepak bolanya stagnan. Tentu saya punya alasan mengapa berpendapat demikian. Sabar, mari saya jelaskan…

Pos bek tengah sudah stabil

Ungkapan Dewi Pangesti bahwa Como tengah mengalami krisis bek tengah setelah cederanya Federico Barba dan hanya menyisakan empat pemain, menurut saya tidak tepat.

Stok empat bek itu sudah ideal, sebetulnya. Apalagi Como hanya bermain di satu kompetisi saja musim ini, yaitu Serie A.

Toh, dari sebelas pemain anyar yang didatangkan Como pada bursa transfer Januari kemarin, tidak satu pun di antaranya berposisi bek tengah. Itu artinya, Fabregas cukup percaya diri dengan stok pemain yang ada.

Kalaupun Fabregas merasa perlu membeli bek tengah, pastilah ia akan mengincar pemain dengan kualitas di atas para bek tengah yang kini Como punya. Goldaniga, Dossena, dan Kempf sejauh ini tampil cukup konsisten. Ketiganya bermain di 19 laga Como musim ini secara bergantian.

Namun, performa konsisten ketiganya saja masih belum mampu membantu Como menjauh dari bayang-bayang gelap zona degradasi. Dalam 24 pertandingan liga, I Lariani sudah kebobolan 40 gol—terbanyak keempat dari seluruh tim Serie A. Inilah kenapa Como perlu ‘mengimpor’ bata yang lebih kokoh untuk tembok pertahanan mereka.

Memang, Rizky Ridho merupakan bek terbaik yang dimiliki Timnas Indonesia saat ini. Saya juga setuju. Tapi, bro, ini Italia! Kolam paus-paus Serie A saling memangsa!

Yang akan dihadapi Ridho bukan lagi Gustavo Almeida, Alex Martins, atau Lulinha, tapi nama-nama seperti Marcus Thuram, Lautaro Martinez, Mateo Retegui, dan Romelu Lukaku. Penyerang-penyerang prolifik yang telah melanglang buana ke banyak liga top Eropa dan kenyang pengalaman mengganyang gawang lawan.

Peluang Ridho menembus skuad utama, bahkan untuk sekadar menyempil duduk di bangku cadangan, benar-benar tipis. Belum lagi masih ada nama Fellipe Jack, bek jebolan Como Primavera yang lebih muda dan potensial.

Kita juga belum menghitung masalah adaptasi, komunikasi bahasa, pola latihan, dan perkara homesick—penyakit yang kerap jadi sebab utama pemain Indonesia tak betah abroad.

Como tidak mempermasalahkan harga

Grafik harga pasar Rizky Ridho terus bergerak naik. Terbaru, harga bek Persija tersebut senilai 500 ribu euro (sekitar 8,5 miliar rupiah). Ini menunjukkan perkembangan positif dalam perjalanan kariernya sekaligus mencatatkan namanya sebagai pemain termahal di Liga 1 saat ini.

Namun, harga segitu cuma receh dalam bursa transfer sepak bola Italia.

Sebagai perbandingan, pemain termahal di Serie A saat ini adalah Lautaro Martinez dengan banderol 100 juta euro. (Tiga nama termahal di bawahnya masih dipegang Inter Milan!) Bagaikan langit dan bumi, bukan?

Harga Rizky Ridho memang cukup ekonomis buat kantong Como. Tetapi, bro, cuan Don Hartono itu turah-turah/tumpah-tumpah! Net worth. Djarum Group bahkan jauh mengungguli kekayaan keluarga Agnelli maupun Berlusconi. Masalah harga, saya rasa, tidak akan jadi problem berarti buat direksi Como.

Januari kemarin saja Como jadi tim Serie A terboros dengan total belanja mencapai 49,2 juta euro. Setelah memboyong sebelas wajah baru, Mirwan Suwarso, presiden klub, via Sky Italia bahkan masih menyesalkan kegagalan merekrut Theo Hernandez dari AC Milan dan Marcus Rashford dari MU.

Kedua pemain tersebut menolak tawaran Como dengan alasan masih ingin bermain di Liga Champions. Jadi, sudah jelas, Como ditolak bukan perkara negosiasi harga, tetapi menyoal tawaran gengsi kompetisi.

Andai I Lariani bukan tim promosi yang masih piyik dan kerap mentas di turnamen antarklub Eropa, mungkin Theo dan Rashford akan berubah pikiran.

Saya tidak bermaksud meremehkan kualitas seorang Rizky Ridho. Saya juga ikut senang jika kelak ia memutuskan abroad kemudian. Tetapi, wallahi, Serie A masih terlalu ganas untuknya.

Memang ada nama Jay Idzes di sana—yang bisa jadi preseden pemain timnas di Serie A. Tetapi, sebelum menjadi kapten Venezia seperti sekarang, Jay sudah melahap puluhan pertandingan di Serie A dan kenyang akan pengalaman bermain di Belanda. Jelas, Ridho dan Idzes tidak tumbuh berasal dari pokok akar yang sama.

Jangan sampai pemain-pemain kita direkrut hanya demi kepentingan publisitas, promosi konten, atau sekadar pendongkrak follower akun medsos klub. Mudah-mudahan kita bisa belajar dari apa yang terjadi pada Egy Maulana Vikri, Pratama Arhan, dan Marselino Ferdinan.

Artikel Terkait

Tinggalkan Komentar