Bagi Bobotoh selaku suporter Persib Bandung dan Pasoepati selaku suporter Persis Solo pasti sudah tidak asing dengan sosok Dani Suryadi, sosok analis kimia sekaligus asisten pelatih yang sekarang sedang berkiprah di Como 1907.
Pria kelahiran Soreang, Bandung Jawa Barat, 9 November 1990 ini mempunyai mimpi memajukan sepak bola Indonesia. Cita-cita Dani adalah harapan kita semua, bahwa rakyat Indonesia bermimpi suatu hari sepak bola kita akan sampai ke kancah dunia!
Dibawah asuhan Shin Tae-Yong, Timnas Indonesia memang sedang melenting, tetapi sepak bolanya tidak, tentu ini dua hal yang berbeda.
Mengutip tulisannya Zen RS di X “Kalau yang bagus hanya Timnas Indonesia, ia rentan hanya akan jadi modal politik. Kalau yang bagus adalah sepak bola Indonesia, ia bisa menjadi modal sosial.”
Dari Wayang Golek Jadi Sepak Bola
Dani Suryadi dan keluarga adalah sosok yang senang menonton wayang Golek di televisi yang dibawakan oleh Asep Sunandar Sunarya. Tetapi ketika jam tayang telah tiba untuk menonton wayang Golek, tiba-tiba sang ayah mengalihkan saluran ke pertandingan sepak bola Liga Italia Serie A: duel antara AC Milan kontra Fiorentina.
Di momen itulah Dani jatuh cinta kepada dunia sepak bola, apalagi ia tinggal di Bandung, sudah barang tentu ia juga merasakan semangat bobotoh dalam mendukung klub kebanggaan warga priangan, Persib Bandung.
Kendati demikian, sebenarnya keluarga Dani Suryadi lebih menyukai bidang olahraga lain, yaitu Bulu Tangkis dan Tinju. Tetapi namanya kesukaan tentu tidak ada batasan.
Dari kesukaan itu dia menjelma sosok pembawa berita sepak bola yang ia tonton bagi kawan-kawan tongkrongannya. Dari cerita tersebut saya jadi teringat kenangan masa kecil saya, dulu saya juga begitu, ketika Persib bertanding, esok harinya saya ingin menjadi yang paling vokal ulasan pertandingan di meja tongkrongan.
Bedanya Dani benar-benar mencatat dan mengulas bahkan mempelajari statistiknya, lha saya mah hanya bermodal ingatan saja.
Ironi Kota Bobotoh
Mendengar perjalanan Dani Suryadi untuk fokus di dunia sepak bola membuat saya terharu sekaligus kesal. Awal mula Dani memutuskan untuk serius terjadi pada 2012, kala itu ia memikirkan untuk menjadi pelatih sepak bola.
Sebagai orang yang terlahir di Bandung, kota yang menjadi kiblat sepak bola provinsi Jawa Barat sekaligus nasional, bahkan menjadikan sepak bola sebagai bagian dari hidup, ternyata itu hanya berlaku bagi masyarakatnya saja, bagi pemerintah itu hanya persona politik belaka.
Pasalnya hal memuakkan terjadi kepada Dani Suryadi tak kala ia sedang mencari pengetahuan guna menjadi pelatih.
Ketika ia sampai di kantor Sekretariat Asosiasi Provinsi Jawa Barat, merujuk dari Tirto.id bukannya ditanya tentang pemahaman sepak bolanya, Dani justru ditodong dengan pertanyaan yang menjurus ke nepotisme, seperti “kamu kenal siapa?” maksudnya siapa kenalanmu di kantor ini!
Hal ini memang menyebalkan ketika mimpi tersendat karena tidak mempunyai orang dalam (ordal) atau bahasa halusnya relasi. Dani juga senang jika seandainya dia mempunya ordal, tetapi dalam perjalanannya Dani murni bergerak sendiri bermodalkan semangat belajar tinggi.
Dari kejadian ini saya kira para bobotoh perlu mensosialisasikan untuk menuntut Pemda Jabar serius mendukung sepak bola, karena sialnya jika ini tidak dilakukan mereka hanya akan memanfaatkan pamor Persib Bandung.
Irisan Filsafat & Madilog Dengan Sepak Bola
Hal penting yang membawa Dani melanglang buana ke Eropa adalah membaca dan menulis. Terkesan tidak ada irisannya dengan sepak bola, tetapi karena modal itulah Dani bisa melenting.
Sosok yang mengajari itu adalah Zen Rahmat Sugito, pertemuan dimulai ketika Dani mencari galah untuk belajar tentang dunia sepak bola karena sebelumnya tidak mendapatkan apa-apa di Asosiasi Provinsi Jawa Barat.
Galah yang Dani temukan adalah media bola bernama Pandit Football, sebuah perusahaan penyedia data, analisis performa berbasis statistik industri sepak bola Indonesia, liputan pertandingan, artikel infografis dengan cakupan aspek ekonomi, politik, sejarah, budaya sampai sepak bola fantasi (EPL).
Di Pandit Football Zen RS mengenalkan Dani dengan banyak buku-buku yang terkesan tidak ada hubungannya dengan sepak bola bahkan bertolak belakang. Dani diminta membaca tokoh Antonio Gramsci, Catatan Dari Penjara, termasuk buku karya bapak Republik Indonesia Tan Malaka, Madilog.
Dari membaca buku Madilog, Dani mendapatkan insight bahwa di bab II -nya Tan Malaka menyelipkan analisisnya mengenai sepak bola. Dari membaca Dani mendapatkan bahwa apa yang dilahap isi kepala akan mempengaruhi kerangka berpikir.
Point of view, angle dan spektrum semakin luas, dengan buku Dani mengaku mendapatkan banyak inspirasi yang tidak akan didapatkan dari orang yang tidak membaca.
Hijrah ke Inggris
Untuk pergi ke Inggris, Dani benar-benar mengandalkan riset sendiri, meskipun ia mengaku seandainya mempunyai relasi yang dapat membantunya. Berbekal tekad yang kuat dan uang yang tidak seberapa, Dani memberanikan diri pergi belajar ke tempat Ratu Elizabeth bertahta.
Riset yang Dani lakukan adalah mengunjungi website Football Association, setelah mempelajari syarat dan ketentuan mendaftar, ia pun beranikan diri untuk apply. Di sinilah terbukti pentingnya membaca dan menulis, salah satu syaratnya ialah membuat esai. Tentu menulis bukan tantangan yang besar, sebab Dani sering menulis di Pandit Football.
Tempat yang Dani sambangi untuk belajar di Inggris ialah wilayah Leicestershire dan Rutland, setelah lulus dari sana, ia langsung mempraktekkan ilmu kepelatihan dengan magang di GNG Football Club Leicester-U17.
Dalam mengarungi jihad belajarnya sekaligus demi bertahan hidup di Inggris, Dani melakukan apa saja pekerjaan, termasuk mencuci piring. Semua pekerjaan ia lakukan asalkan halal, daripada jualan agama dan goblokin penjual es teh ya kan!
Setelah Dani mengantongi lisensi pelatih level II FA dibawah naungan UEFA yang jika dikonversi setara dengan lisensi C AFC.
Dari pelatihannya, Dani merenungkan bahwa sepak bola bukan sekadar taktik di lapangan, lebih jauh dari itu merupakan soal kemanusiaan. Karena hal yang selalu ditekankan kepada para calon pelatih adalah “Ingatlah, mereka bukan sekadar pemain, bagaimanapun mereka adalah manusia.”
Sebab sebelum para calon dilatih mengenai apa yang harus dilakukan di lapangan hijau, mereka terlebih dahulu mempelajari hal yang seolah-olah tidak ada hubungannya dengan sepak bola, yaitu psikologi, sosial, dan safeguarding.
Mudik ke Tanah Air
Kepergian Dani ke Eropa semata-mata untuk belajar supaya bisa diterapkan di Indonesia. Dani pernah berkata “Saya ingin sepak bola Indonesia mempunyai bank data, dokumentasi dara pengembangan sepak bola supaya tahu jalan mana yang harus ditempuh, pondasinya adalah sport science.”
Di Indonesia ia kembali mengabdikan diri untuk kota kembang, kota tempat lahirnya maung Bandung yang pemdanya tidak peduli dengan perkembangan sepak bolanya sendiri. Di Persib Bandung ia dengan sukarela menyalurkan ilmunya untuk diklat.
Tidak hanya di Persib Bandung, Dani juga melatih beberapa sekolah sepak bola (SSB), kemudian ia juga bergabung dengan klub Liga 3, Jakarta United dan membersamai untuk mencapai juara.
Dari sinilah perjalanan Dani Suryadi bergabung dengan Persis Solo. Ketika di Jakarta United ia berkenalan dengan Vijaya Fitriyasa, yang kemudian hari mengajak Dani bergabung menjadi staf kepelatihan di Persis Solo sebagai analis.
Ajakan ini disambut hangat oleh Dani Suryadi, tetapi ketika saham kepemilikan berganti dari Vijaya Fitriyasa ke Kaesang Pangarep, Dani memutuskan untuk pergi!
Bertualang ke Como, Italia
Ceritanya pergi ke Inggris sama halnya ketika Dani pergi ke Italia, semuanya bermodalkan riset. Dani daftar mandiri ke klub Como 1907. Khususnya di tim Primavera U-19.
Dani belajar sekaligus mengamalkan semua pengetahuan yang ia dapatkan, yang bermula dari Pandit Football, di Inggris, Persib Bandung, sekolah sepak bola, Jakarta United, dan Persis Solo.
Meskipun bukan di tim utama, Dani Suryadi juga membantu tim utama melanglang ke Liga Serie A, kasta tertinggi sepak bola di Italia. Dani menemukan perbedaan antara kultur sepak bola Italia dengan Indonesia bak langit dan bumi.
“Akademi sepak bola di Italia itu bagus, karena dari level grass root-elit, negara hadir dan terlibat”
Selain itu di Italia kompetisi umur berjalan dengan jelas, transparan dan jadwal tertata dengan baik. Jadi progresnya terasa sampai ke level nasional. Betul kata Dani, Indonesiakan mengandalkan naturalisasi tanpa benar-benar mau mendidik sejak dini.
Jobdesk utama dari di Como 1907 sebagai analis kimia sekaligus asisten pelatih adalah fokus untuk teknikal usia dini di usia 19 tahun sesuai dengan lisensi yang Dani miliki.
Perbedaan tempat Dani belajar dan mengamalkan antara Inggris dan Italia memang berbeda, tetapi sebagai negara yang menorehkan banyak pemain hebat tentu ini bukan sesuatu yang perlu ditakuti, karena justru yang menjadi tantangan Dani adalah bahasa.
Como 1907 memang perlahan melenting meskipun sekarang sedang terancam di zona degradasi. Kendati demikian semoga dengan kehadiran bibit emas Indonesia akan mengharumkan Como 1907 menjadi klub legenda.